IMAN DAN TAKWA DULU BARU MUSLIM (2)



Iman dan Takwa Dulu Baru Muslim (2)

Oleh : Tikno Adi 


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Artinya :

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 102)

     Barangkali kita (umat islam) akan terperanjat atau bahkan mungkin marah kalau ditanya "anda muslim?". Sejak lahir kita sudah muslim. Identitas kita muslim dan aktif menjalankan ritual keagamaan. Shalat, puasa, zakat dan haji. Apa yang bukan muslim? 

     Kembali pada peringatan Allah swt. "Jangan kalian mati kecuali dalam keadaan muslim". Itu artinya ada sinyalemen bahwa banyak orang yang identitas secara administratif beragama islam tetapi mereka meninggal tetapi dalam keadaan tidak muslim. Ini kan aneh. Jujur saja saya agak miris, mendengar para mubaligh yang dengan mudahnya mengklaim semua umat islam akan masuk surga. Yang penting sudah bersyahadat. Secara tekstual tidak ada yang salah dengan narasi ini tetapi secara kontekstual apakah mudah orang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa tumbuh dari keimanan yang benar. Ini yang menjadi persoalan yang serius. Memang beragama itu tidak sulit, karena Allah sendiri yang menjamin bahwa Al Qur'an diturunkan tidak untuk menjadi beban. Itulah sebabnya untuk menjadi muslim yang sejati harus memiliki landasan iman yang benar atau benar-benar bertauhid. 

     Manusia diberi hardware yang berupa otak dan softwawenya berupa akal untuk mentadabburi ayat-ayatNya. Mengakui kebenaran Islam tentu melewati proses perjalanan spiritual. Masing-masing orang akan memiliki pengalaman yang berbeda untuk menemukan kebenaran dan mengenal esensi dirinya. Dalam sejarah bagaimana sahabat Umar bin Khatab menemukan kesejatian dirinya dan memeluk Islam di hadapan Rasulullah saw? 

     Ada yang mempersoalkan bahwa ada hadits yang menyatakan bahwa agama itu akal itu dhaif, itu setuju. tetapi  kalimat berikutnya tidak ada agama bagi orang-orang yang tidak berakal itu sangat rasional.  Agama (Islam) bukan hasil pemikiran akal yang terbatas , tetapi Ak Qur'an adalah wahyu dari Yang Maha Tak Terbatas. Untuk memahami wahyu itu perlu akal sehat karena akal adalah instrumen yang juga merupakan karunia Allah swt. Itulah perlunya berpikir kritis untuk mencari jawaban setiap keraguan-raguan. Al Qur'an banyak mempertanyakan tentang kekritisan akal. Afala yatafakkarun? Afala yatadzakkarun? Itu artinya karunia yang berupa akal memiliki peran yang sangat penting untuk menyingkap kebenaran. 

     Ilmu pengetahuan umum kebenarannya bersifat objektif sedang ilmu pengetahuan tentang agama bersifat subjektif. Itu artinya keimanan dan keislaman seseorang harus berdasarkan pembuktian dan pengalaman spiritual yang membuat seseorang menjadi yakin. Masing-masing individu pasti memiliki pengalaman yang berbeda dalam menemukan kesejatian dirinya. Sebagaimana definisi bahwa iman itu tasdiqun bil qalbi, wa ikrarun bil lisan wa amalun bil arkan benar-benar dapat dirasakan. 

     Di dalam Al Qur'an banyak dikisahkan pura Nabi dan Rasul terdahulu. Bukan sekedar cerita sejarah masa lalu tetapi ada pasan yang sangat dalam untuk dipahami dan dijalankan sesuai fungsi Al Qur'an sebagai petunjuk. Kalau hanya sekedar cerita yang bersifat informatif mengapa diturunkan?  Tentu ada yang penting untuk ditadabburi dan menambah keyakinan semakin mantap. Berikut ini ada apa di balik kisah Nabi Dzun Nun atau Yunus as? 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَ ذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَا ضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّـقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَا دٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّاۤ اِلٰهَ اِلَّاۤ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ 

"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, "Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 87)


    Al Qur'an mengisahkan bagaimana awalnya Nabi Yunus as sampai ditelan ikan. Yang paling penting ketika beliau berada di dalam kegelapan perut ikan. Secara fisik, siapa yang dapat mengeluarkan dirinya dari perut ikan? Minta tolong kepada siapa? Ini merupakan puncak krisis secara fisik yang dialami dan dirasakan oleh Nabi Yunus as. Di sinilah munculnya kesadaran tentang Sang Keberadaan. Tidak ada sesuatu apapun di dunia ini tanpa kehadiran-Nya. Dia yang meliputi seluruh makhlukNya termasuk keberadaan ikan yang menelannya. Terjadilah peleburan dirinya dengan semesta. Laa ilaha illa Anta. Keberadaanku karena Engkau, keberadaan ikan yang menelanku karena Engkau. Tidak yang bukan Engkau. Maha Suci Engkau. Maka ketika terjadi pemisahan antara aku dan Engkau sungguh aku dalam kegelapan. Hingga akhirnya Nabi Yunus as terselamatkan dan kembali membimbing kaum untuk mengenal Tuhannya. 

     Keimanan yang tumbuh dari kesadaran inilah yang harus kita alami. Bukan karena doktrinasi. Keimanan yang sudah pada tataran tasdiqun bil qalbi dengan melalui proses pembuktian dan pengalaman spiritual inilah yang akan melahirkan pribadi muslim yang sejati.  


9 Desember 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAJULUN YAS'A ( رجل يشعي )

BELAJAR AL QUR'AN

LINGSEM DAN BANGKAI