DIA YANG ZAHIR DAN DIA YANG BATIN



DIA YANG ZAHIR, DIA YANG BATIN

Oleh : Tikno Adi

     Sebuah informasi atau pengetahuan akan menjadi ilmu melalui proses bukan sekedar berhenti sampai ilmul yakin, tetapi harus ‘ainul yakin dan haqqul yakin. Rasulullah saw sebagai suri teladan yang sempurna dan ajaran yang dibawa adalah mengantarkan kepada “yarjullah, yarju liqa-Allah, yarju liqaa Rabbihi”. Berharap Allah, berharap bertemu Allah, berharap bertemu Rabbnya”. Orang yang sudah pada tingkatan seperti itu, out putnya dapat dipastikan berakhlak ilahiyah, berakhlak mulia. Itulah sebabnya saya akan mengajak untuk mengelaborasi dengan daya kritis terhadap pemahaman yang selama ini justru membuat umat seperti robot biologis. Terjebak pada rutinitas yang seolah-olah sudah mencapai derajat yang tinggi, sementara tugas ibadah atau pengabdian menjadi Khalifah di bumi sama sekali terabaikan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاِ ذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نُّؤْمِنَ لَـكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً فَاَ خَذَتْكُمُ الصّٰعِقَةُ وَاَ نْتُمْ تَنْظُرُوْنَ

“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 55)

ثُمَّ بَعَثْنٰكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّکُمْ تَشْكُرُوْنَq

“(Setelah itu Kami bangkitkan kamu) maksudnya Kami hidupkan kembali kamu, (setelah kematian kamu agar kamu bersyukur) atas nikmat karunia Kami itu.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 56)

     Selama ini kita tidak pernah mendengarkan penjelasan secara komprehensif tentang ayat ini. Bahkan ada kecenderungan untuk tidak mengungkapkan secara jelas, justru yang dipersoalkan malah yang mempertanyakan. Jangan seperti Bani Israil yang selalu bertanya kepada para nabinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Apakah pertanyaan yang sangat logis dan ditanyakan kepada Nabinya itu merupakan hal yang tabu? Allah mengabadikan dalam Al Qur’an bukan tanpa alasan. Semua yang termaktub dalam Al Qur’an adalah wasilah untuk pembelajaran. Bani Israil berarti keturunan Israil, Nabi Ya’kub. Secara bahasa Bani Israil adalah suatu kaum atau entitas yang melakukan perjalanan menuju Tuhan. Allah SWT berpesan melalui kisah Bani Israil agar umat Islam memiliki daya kritis untuk menyikapi setiap kejadian dan peristiwa di semesta ini. Kemunduran umat Islam pasca runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani dan terpecah belahnya umat yang dibatasi wilayah dan kekuasaan negara begitu sangat dirasakan sampai hari ini.

     Surat Al Baqarah merupakan surat Madaniyah yang diturunkan sesudah Nabi saw. Hijrah ke Madinah. Jumhur ulama mengklaikasikan bahwa surat-surat yang diturunkan di Madinah lebih banyak berbicara urusan syariat karena periode Madinah berorientasi pada pembangunan struktur masyarakat. Meskipun demikian pembangunan karakter manusia yang bersumber dari aqidah yang benar tidak dapat dinafikan. Demikian juga dengan Al Qur’an yang berbicara tentang sejarah umat terdahulu. Kisah-kisah umat terdahulu yang diabadikan dalam Al Qur’an tentu memiliki urgensi pembelajaran yang disampaikan lewat perjalanan para Nabi dan Rasul yang diturunkan kepada Bani Israil.

       Al Qur’an adalah sumber dari segala sumber ilmu. Perkembangan IPTEK di zaman kekhalifahan Bani Umayyah dan Abbasiyah bersumber dari Al Qur’an . Sebagai sumber ilmu tentu memiliki tiga sifat. Koherensi, korespondensi dan pragmatis. Tidak bertentangan dengan akal sehat, dapat dibuktikan dan tidak berbenturan dengan ilmu yang lain serta memberikan manfaat. Bagaimana Al Qur’an itu dapat benar-benar difahami dan menjadi sebuah keyakinan tanpa ada pembuktian secara scientific. Bagaimana Al Qur’an memiliki fungsi sebagai petunjuk jalan jika tidak ada pemahaman secara komprehensif.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَا عَلَيْنَاۤ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ

“Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan dengan jelas.” (QS. Ya-Sin 36: Ayat 17)

     Dilihat dari aspek ilmu itu sendiri, pengetahuan dapat menjadi ilmu ketika sudah melalui proses yang panjang. Mulai translasi, interpretasi, aplikasi, evaluasi, analisis, sintesis. Itu artinya bahwa yang namanya ilmu pasti dapat dibuktikan. Kebenaran ilmu pengetahuan tentang fisika bersifat objektif sedangkan ilmu pengetahuan tentang agama bersifat subyektif. Tetapi sama-sama yang dicari adalah kebenaran. Oleh karenanya metode yang diterapkan adalah pendekatan scientific. Kita yakin bahwa Al Qur’an itu kebenaran. Tentu untuk mencapai tingkat kebenaran yang dimaksud tentu melalui proses pembuktian.

      Setiap para Nabi dan Rasul tidaklah diutus kecuali menyampaikan dengan nyata. Eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang nyata bukan fiksi. Keberadaan surga dan neraka itu nyata, Iblis, Malaikat, Syetan itu realistis bukan sekedar sesuatu yang bersifat informatif. 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الْاَ وَّلُ وَا لْاٰ خِرُ وَا لظَّاهِرُ وَا لْبَا طِنُ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid 57: Ayat 3)

     Sebuah analogi sederhana, apakah manisnya gula itu nyata? Bagaimana nyatanya manisnya gula? Kita tidak dapat mendeskripsikan apa itu manis. Karena yang berbicara adalah kesadaran rasa. Orang yang berada di kesadaran fisik atau materi tidak dapat mengatakan manisnya gula itu nyata karena sesuatu itu dikatakan nyata jika ada wujudnya secara materi. Inilah sebenarnya yang terjadi di kebanyakan manusia, masih ditingkat kesadaran yang paling rendah. Kesadaran materi. Anehnya, inilah yang secara terus menerus dijejalkan ke otak manusia. Bagaimana menerangkan tentang surga dan neraka? Paradigma yang yang dibangun berorientasi pada sesuatu yang bersifat materi. Bagaimana kenikmatan surga yang dijanjikan? Bidadari yang selalu perawan. Sebaliknya bagaimana kepedihan siksa neraka yang tiada bandingnya saking pedihnya. Bagaimana menggambarkan jembatan shiratal mustaqim yang terbentang di atas neraka. Orang-orang yang berdosa akan terpelanting masuk ke dalam neraka. Semua itu difahamkan dalam perspektif materi, sementara ketika ruh berpisah dengan jasad kita memasuki dimensi lain. Inikan pembodohan. Apakah yang disampaikan ini salah? Sama sekali tidak, hanya saja tidak realistis. Sedangkan para Nabi dan Rasul diutus untuk membawa peringatan yang nyata. 

“ Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid 57: Ayat 3)

Seperti yang sudah dianalogikan di atas, manisnya gula adalah nyata. Demikian juga dengan eksistensi Allah SWT. Allah senantiasa hadir di setiap ruang dan waktu. Dialah sumber daya kehidupan dan meliputi semesta pada setiap makhlukNya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat 41: Ayat 53)

     Sebagai penutup tulisan ini, saya mengajak para sahabat semua untuk meniti ke dalam diri. Melepaskan diri palsu kita yang bernama ego. Melepaskan sesaat fikiran kita. Kita rasakan setiap tarikan dan hembusan nafas. Ada daya hidup yang menggerakkan seluruh sel yang ada dalam tubuh. Ada energi yang mampu menggerakkan seluruh aktivitas organ tubuh. Yang mampu menggerakkan seluruh aktivitas baik kedalam maupun keluar. Apa yang kita rasakan? Bukankah tidak ada yang bukan Dia? Dialah yang Zahir dan Dialah yang Bathin. Hanya orang-orang yang terbuka mata qalbunya yang dapat merasakan kehadiranNya, kedekatanNya, kepenyatuanNya dan mampu berucap ALLAHU AHAD.

5 Januari 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAJULUN YAS'A ( رجل يشعي )

BELAJAR AL QUR'AN

LINGSEM DAN BANGKAI