TITIK AWAL IMAN



TITIK AWAL IMAN

Oleh : Tikno Adi


    Kita sering mendengar sebuah narasi "menjadi muslim yang bertakwa". Ada lagi " menjadi muslim yang taat". Sepintas seperti tidak ada yang janggal dari kalimat ini. Sementara jika kita sedikit kritis, ada sesuatu yang kurang nyaman untuk didengar. Apabila disebut muslim secara otomatis sudah bertakwa karena sikap dan perilaku takwa merupakan cerminan seorang muslim. Demikian juga dengan muslim yang taat. Yang namanya muslim sudah barang tentu taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Arti muslim adalah orang yang berserah diri. Apa yang saya sampaikan hanya normatif sedangkan untuk memberikan predikat muslim itu Allah sendiri dan diri kita sendiri yang mengetahui apakah kita benar-benar seorang muslim. Mari kita cermati QS. 3 : 102.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 102)

     Kalau melihat konstruksi ayat sudah sangat jelas bahwa untuk menjadi muslim itu dengan iman dan bertakwa. Itu artinya bahwa muslim adalah derajat atau maqam yang  tinggi di hadapan Allah SWT. Lantas bagaimana dengan mukmin, Muttaqin? Bukankah orang yang berbahagia itu mukmin dan orang yang selalu merasakan kedamaian itu Muttaqin? Mukmin dan Muttaqin lebih ke urusan qalbu atau hati sedangkan keislaman seseorang memberikan dampak langsung bagi orang-orang di sekitarnya dan semesta. Maka sungguh aneh jika mayoritas penduduknya "muslim" tetapi saling menebarkan kebencian. Sungguh ironis hanya urusan membuang sampah saja tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan. 

    Untuk itu mari cermati dengan seksama kata demi kata dalam ayat itu agar tidak salah menginterpretasikan ayat tersebut. Pertama, siapa yang dipanggil Allah SWT dalam ayat tersebut? Jawabnya adalah orang yang beriman. Itu artinya bahwa orang tersebut sudah melalui proses pencarian jatidiri dengan melalui tahapan Ilmul Yakin, Ainul Yaqin, Haqqul Yakin. Iman bukan sekedar pengakuan. Yang tidak kalah pentingnya, kapan titik awal  beriman? Selama ini kita hanya mengaku beriman, berislam karena kita terlahir dari keluarga yang beragama Islam. Kita diajarkan di sekolah tentang apa itu rukun Islam, rukun iman hanya sebatas informasi. Kita didogma tanpa diberikan pemahaman yang komprehensif. Pokoknya kita harus percaya. Walhasil, ritual agama hanya rutinitas dan tidak membawa perubahan menjadi lebih baik. Terutama akhlak dan moralitas. Sekali lagi, kapan titik awal kita beriman? 

Allah SWT. berfirman:

وَلَمَّا جَآءَ مُوْسٰى لِمِيْقَا تِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗ ۙ قَا لَ رَبِّ اَرِنِيْۤ اَنْظُرْ اِلَيْكَ ۗ قَا لَ لَنْ تَرٰٮنِيْ وَلٰـكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَـبَلِ فَاِ نِ اسْتَقَرَّ مَكَا نَهٗ فَسَوْفَ تَرٰٮنِيْ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ اَفَا قَ قَا لَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَ نَاۡ اَ وَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ

"Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, "Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." (Allah) berfirman, "Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku." Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 143)

     Ayat ini bukan sekedar informasi tentang titik awal Musa as beriman kepada Allah SWT. Al Qur'an bukan sekedar cerita tentang sejarah tetapi lebih jauh dari itu. Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertakwa. Itu artinya bahwa kita harus benar-benar mengetahui tentang jati diri kita. Kapan titik awal kita menjadi orang beriman. Sehingga ketika Allah memanggil "Hai! Orang-orang yang beriman...." , panggilan itu benar-benar kita rasakan dan bergegas untuk memenuhi panggilan itu. 

     Keimanan yang sudah pada tingkatan tasdiqun bil qalbi akan membawa pada tingkat kesadaran yang lebih mapan. Sudah tidak terjebak pada dualitas, benar – salah, baik – buruk, suka – benci.  Dualitas adalah hasil persepsi fikiran yang terkadang menipu. Bagi orang-orang yang beriman, apapun yang terjadi adalah kebenaran. Boleh jadi beberapa waktu yang lalu kita mengatakan salah dengan berbagai argumentasi yang mendukung persepsi kita, selang beberapa waktu kemudian ternyata apa yang dahulu kita anggap sebagai kebenaran ternyata sekarang tidak relevan lagi.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَلْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِّنَ الْمُمْتَرِيْنَ

“Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau  termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 60)

     Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, kapan titik awal kita beriman? 


26 Desember 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAJULUN YAS'A ( رجل يشعي )

BELAJAR AL QUR'AN

LINGSEM DAN BANGKAI