Sehat Jiwa berdampak pada sehat jasmani


 Sehat Jiwa berdampak pada sehat jasmani

Oleh : Tikno Adi 

     Kalau kita mengenang kembali masa-masa kecil, generasi yang lahir tahun enam puluhan, kita masih mengalami kehidupan yang alami. Kehidupan dalam suasana desa yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan. Semua serba manual dan tradisional. Dari aspek ekonomi memang tergolong MBR, istilah sekarang. Masyarakat yang berpenghasilan rendah tetapi kehidupan terasa damai. Saling asah, saling asih, saling asih. Rumah masih banyak yang terbuat dari bambu. Ketika mendirikan rumah dengan bergotong royong. Suasana alam yang masih hijau tidak banyak polusi dan yang terpenting hidup lebih sehat. Tidak ada penyakit yang aneh-aneh seperti sekarang. Ternyata dengan alam yang bersih dan manusianya juga jiwanya bersih, tidak ada saling iri hati, dengki. Mereka hidup rukun saling memberi, itulah yang membuat mereka hidup damai dan berdampak terhadap kesehatan fisik.

     Kalau kita melihat fenomena yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Kehidupan yang boleh dikatakan lebih baik dengan fasilitas yang mendukung tetapi kehidupan terasa jauh dari kedamaian. Penyakit yang macam-macam dan aneh-aneh banyak kita lihat atau mungkin sekarang kita rasakan. Pertanyaannya, mengapa itu terjadi. Bukankah dengan kehidupan yang lebih baik dengan fasilitas yang mendukung, hidup terasa lebih nyaman. Realitas berkata lain. Banyak manusia yang kehilangan jatidirinya. Manusia hanya dikendalikan oleh egonya, cenderung individualistik dan mengabaikan aspek sosial yang seharusnya ada keseimbangan. Manusia sebagai makhluk individu tetapi juga merupakan bagian dari entitas yang di dalamnya ada nilai yang harus ditumbuhkan. Dari gambaran di atas, mungkin sudah terbesit apa yang melatarbelakangi mengapa terjadi fenomena seperti sekarang? Ada idiomatik Sehat itu mahal, sakit jauh lebih mahal.

       Kita melihat dari Al Qur'an tentang penyakit. Apakah ada korelasinya penyakit yang banyak terjadi sekarang dengan penyakit yang ada dalam Al Qur'an. Allah SWT berfirman:

فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ ۙ فَزَا دَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًا ۚ وَلَهُمْ عَذَا بٌ اَلِيْمٌ ۙ بِۢمَا كَا نُوْا يَكْذِبُوْنَ

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 10)

     Untuk mengelaborasi ayat ini terlebih dahulu melihat dua ayat sebelumnya. Allah SWT  berfirman:

وَمِنَ النَّا سِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِا للّٰهِ وَبِا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ 

"Dan di antara manusia ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir," padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 8)

يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَا لَّذِيْنَ اٰمَنُوْا  ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّاۤ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ 

"Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 9)

     Orang yang beriman itu amanah, jujur. Apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan itu sesuai dengan apa yang di hatinya. Sehingga apa yang dilakukan tidak ada beban dan mengalir apa adanya. Dalam kehidupan sosial adalah sikap saling memberi. Rasulullah saw banyak berbicara tentang iman dalam konteks sosial. Mencintai orang lain, menghormati tetangga, tamu dan menolong orang yang membutuhkan. Kalau menjadi apapun mereka berpegang teguh pada komitmen dan janjinya. Amanah, tidak korupsi dan semua yang menjadi tugasnya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka dapatkan balance. Secara otomatis ada keseimbangan dalam hidupnya yang selalu terjaga. Inilah yang menimbulkan rasa damai dalam jiwanya. Dalam jiwa yang damai, bahagia, sehat berdampak pada sehat fisik. 

     Fenomena yang terjadi saat ini justru malah berbalik seratus delapan puluh derajat. Banyak orang yang beriman tetapi sekedar pengakuan. Inilah yang sebenarnya merupakan sumber dari segala sumber penyakit. Orang yang sekedar mengaku beriman dapat dilihat dari sikap dan perilakunya. Apa yang ada dalam hatinya tidak sesuai dengan ucapan dan tindakan. Apakah yang dimaksud mereka menipu Allah? Allah SWT meliputi semua makhlukNya. Itu artinya bahwa setiap manusia memiliki intuisi kebenaran dalam dirinya. Allah SWT berfirman:

فَاَ لْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰٮهَا 

"maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya," (QS. Asy-Syams 91: Ayat 8)

Setiap melakukan kebohongan dirinya pasti mengetahui. Itulah sebabnya jika ada orang berbohong, menipu orang lain, sejatinya mereka telah menipu dirinya sendiri. Disadari atau tidak, akan menjadi beban jiwanya yang pada akhirnya menimbulkan penyakit karena apa yang dilakukan selama ini karena di hatinya berpenyakit. Hati yang berpenyakit karena jiwa yang dikuasai oleh fikiran gelapnya, egonya bukan jiwa yang yang mengendalikan fikiran. Inilah pangkal dari segala bentuk penderitaan, sumber dari segala penyakit. 


24 Desember 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAJULUN YAS'A ( رجل يشعي )

BELAJAR AL QUR'AN

LINGSEM DAN BANGKAI