REVOLUSI....? (8)

Oleh :
Ahmad Muzzammil

Lahirnya tata kelola dan sistem kehidupan sekuler, meskipun kita ini disebut sebagai masyarakat Muslim terbesar sedunia, dan sila pertama dari dasar negaranya juga berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagaimana saya paparkan sebelumnya, ini hanyalah akibat dari suatu sebab. Ya, Sebagai sebuah "akibat" yang tidak benar-benar disadari sebagai akibat, sehingga kita tidak serius mencari sebab. 
Pada saat suatu kebijakan oleh kita dianggap merugikan atau mengancam, maka yang kita tolak dan kita kecam hanyalah sebuah kebijakan yang sekedar "akibat" itu saja tanpa tindak lanjut mencari sebab yang lebih fundamental darinya. 
Maaf sebelum dilanjutkan,saya mau menyelipkan dulu bahwa ada prinsip dasar dan mendasar yang hilang dari kita, minimal untuk sementara saya sampaikan 3 hal, yaitu; 
1.kesadaran sebab akibat, yakni kita terbiasa melihat suatu masalah hanya focus kepada masalahnya, tanpa punya kesadaran hukum sebab akibat, sehingga kita tidak berpikir mengakar. 
2.kesadaran ghayah dan wasilah (tujuan dan sarana mencapai tujuan), sehingga kita kehilangan pola pikir awlawiyyat atau skala prioritas. Akibat berikutnya ya jungkir baliknya konstruksi pemikiran kita. 
3.Kesadaran konteks. Bahwa ada sesuatu yang benar pada konteks tertentu, dan bisa salah pada konteks yang lain. Benar dan salah berlangsung secara dialektis secara terus menerus. 
Kalau kita telisik sampai ke akar, kenapa masyarakat Indonesia yang sangat religius di satu sisi, tapi sebegitu sekulernya pada sisi yang lain, saya kira faktor sistem pendidikan yang menjadi jawabannya. Kita tahu bahwa sekolah - sekolah yang ada merupakan continuasi dari sekolah penjajah. Kita juga tahu bahwa motivasi penjajah mendirikan sekolah adalah dalam rangka menguasai alam pikir bangsa Indonesia. Biarlah suatu saat Hindia Belanda itu merdeka, akan tetapi pola pikir masyarakatnya tetap dikuasai. Toh yang paling peting kan bukan orangnya, tapi apa yang dilakuan oleh orang tersebut. Orangnya boleh gonta ganti, yang penting pola pikir dan tata kelolanya tetap menguntungkan para penjajah. 
Dengan demikian, segala hal mengenai penataan sosial, ekonomi, politik, pertahanan, kebudayaan, tetap mengekor kepada penjajah. Di tengah-tengah itu terus di propagandakan bahwa masa silam kita adalah masa kegelapan dan keterbelakangan. Sedangkan masa lalu penjajah adalah pencerahan. 

Sekolah-sekolah sekuler sesuai latar belakang sejarah Eropa yang dirancang penjajah, menjadi mainstream pendidikan nasional, meskipun penjajahnya telah angkat kaki. Dana pendidikan hampir 100% memback up sistem pendidikan tinggalan penjajah. Tenaga pengajar dan SDM unggul dalam negeri diberi bea siswa untuk belajar di sekolah-sekolahpara penjajah. Mereka ini merasa dihormati dengan dengan diberi kesempatan belajar di negara "maju".Tak sadar bahwa sedang di"kerjain" untuk dijadikan agen penjajah. Sepulang ke tanah air mereka menjadi kelas menengah keatas yang menguasai opini massa dan bertindak sebagai penasehat dan team ahli pembangunan di segala bidang. Demikian itu berlangsung sekian lamanya. 

Sementara itu sistem pendidikan asli nusantara yang hidup sejak penjajah belum datang, dipinggirkan dan dibiarkan hidup sendiri bahkan diberi stigma sebagai pendidikan tradisional. Kemudian hadir kementrian agama yang mendirikan madrasah sebagai "tandingan" sekolah. Maka lahirlah dikotomi pendidikan dan lahir pula istilah pelajaran umum dan pelajaran agama. 

Secara sepintas, penghadiran madrasah dan mata pelajaran agama di sekolah atau madrasah,tampak positif,minimal sebagai strategi tambal sulam. Tapi,hakekatnya, hal itu mempertegas eksistensi pendidikan sekuler. Juga mempertegas persetujuan negara terhadap pendidikan sekuler dan sekulerisasi pendidikan.

Padahal, pendidikan nasional mesti mendasarkan dirinya kepada Pancasila, wabilkhusus sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang merupakan pancaran dari sila pertama. Pendidikan nasional tidak boleh sekuler dan aktivitas pendidikan adalah aktivitas religius. Kemanusian yang adil dan beradab tidak bisa terwujud manakala manusia-manusia Indonesia tidak benar-benar manusia yang adil dan beradab. Dan itu tidak mungkin dengan sekulerisasi pendidikan.
Saya kira itulah akar dari sekulerisasi tata kelola kehidupan kita. Sisitem itu berada pada tahap kedua setelah "nilai, karena sistem tak lain adalah penataan atas pelaksanaan atau operasionalisasi nilai. Nilai tidak bisa ditawar-tawar alias harga mati. Apabila kita telah sepakat Pancasila sebagai dasar atau nilai kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, tapi kenapa nilai ini tidak harga mati dalam pendidikan kita?. Katanya Pancasila dan NKRI harga mati? 

Sedangkan sistem itu bisa fleksibel tergantung konteksnya. Apalagi hanya masalah alokasi waktu pembelajaran di sekolah, itu maslah teknis semata yang bisa ditambah atau dikurangi sesuai kondisinya. Ya itu juga penting, namun tidak nomer satu. Kenapa kita ribut masalah teknis yang sekedar akibat dan mendiamkan "nilai fundamental" digerogoti dan dihancurkan? 
Ngopi dulu !.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAJULUN YAS'A ( رجل يشعي )

BELAJAR AL QUR'AN

LINGSEM DAN BANGKAI